17 Tahun Peristiwa Mei 98, Pengakuan Negara Ditunggu Keluarga Korban

IKOHI | Peristiwa Mei 98 dikenang sebagai peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kekuasaan Orde Baru yang otoriter mampu dihentikan oleh rakyat melalui demonstrasi di berbagai daerah, namun pada saat yang sama peristiwa itu juga memakan korban jiwa yang cukup besar.

Berdasarkan laporan “Sujud di Hadapan Korban Tragedi Jakarta Mei 1998,” yang dikeluarkan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, setidaknya ada 1.217 jiwa yang meninggal, 91 orang luka serta 31 orang hilang akibat Tragedi Mei yang terjadi pada 13-15 Mei 1998.

Sementara Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), mengungkapkan dugaan pelaku yang berseragam SLTA datang membawa jerigen yang diturunkan dari sebuah truk warna merah. Komnas HAM juga telah menyatakan tragedi Mei 98 sebagai peristiwa pelanggaran berat HAM.

Sudah 17 tahun lamanya tragedi Mei 98 berlalu, namun hingga saat ini pemerintah belum mampu menuntaskan kasus tersebut. Untuk kembali mengingatkan pemerintah, korban, keluarga korban serta beberapa organisasi dan individu menggelar acara peringatan 17 tahun peristiwa Mei 98 di halaman Mall Klender, pada Selasa (12/5). Mall Klender, atau dahulu bernama Yogya Plaza, dibakar oleh sejumlah orang pada peristiwa Mei 1998 dan mengakibatkan ratusan korban meninggal.

Sampai detik ini, terdapat ratusan korban yang masih tidak mengetahui keberadaan keluarganya. Sementara pemerintah belum mengakui peristiwa tersebut.

Dalam peringatan tersebut, sejumlah korban dan keluarga korban meminta Presiden Joko Widodo kembali mengusut peristiwa ini.

“Presiden sudah ganti berkali-kali. Masa belum bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM? Kebangetan. Kami tetap minta kasus ini diselesaikan,” kata Ruminah di acara peringatan 17 itu, Selasa (12/5). Anak laki-laki Ruminah menjadi korban saat terjadi kebakaran Mall Klender 17 tahun silam.

Walaupun sudah 17 tahun peristiwa Mei 98 berlalu, beberapa keluarga korban masih mengalami trauma akibat peristiwa tersebut.

“Saya tidak akan mau kalau disuruh masuk ke mall ini. Bahkan, kalaupun saya kebelet kencing, saya memilih cari toilet umum di luar mall ini,” kata Maria Sanu yang kehilangan anak laki-lakinya di mall Klender pada peristiwa Mei 98.

Air mata Maria Sanu berlinang ketika mengingat Vanus – panggil akrab Stevanus. Ia juga sempat depresi akibat peristiwa tersebut serta terpuruk ekonomi keluarganya.

“Banyak keluarga korban yang terpuruk secara ekonomi Tragedi Mei ’98. Seharusnya pemerintah bisa bantu mendanai pendidikan dan biaya kesehatan para keluarga korban,” ujarnya.

Turut hadir dalam peringatan itu, anggota komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Kebangkitan Bangsa Maman Imanulhaq. Ia berpendapat pemerintah harus segera mengakui tragedi Mei ’98.

“Jokowi seharusnya tidak boleh takut! Selama ini ia dan presiden-presiden sebelumnya ketakutan mengakui kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang sudah terjadi,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh para keluarga korban. “Pengakuan negara itu penting. Pemerintah harus bertanggung jawab dan bukannya malah menuduh para korban sebagai penjarah dalam kerusuhan itu,” kata Maria Sanu.

Penulis: Ari Yurino

Add a Comment

Your email address will not be published.