Rumah Keadilan
|Sejak tahun 1998, Indonesia telah memasuki masa transisi demokrasi. Namun sudah dua belas tahun upaya penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia belum juga terwujud. Telah dua kali Pengadilan HAM Ad-hoc digelar di Indonesia untuk menangani kasus Tanjung Priok dan Timor Timur. Sementara adu satu pengadilan HAM untuk kasus Abepura. Namun hasil dari pengadilan HAM Ad-hoc untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur dan pengadilan HAM dalam kasus Abepura telah membebaskan para pelakunya dan jelas tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Untuk Tragedi Semanggi I dan II bahkan telah dihentikan oleh DPR RI karena DPR RI memutuskan tidak adanya pelanggaran HAM di kasus tersebut. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM juga hanya menjadi tumpukan arsip di Kejaksaan Agung hingga hari ini. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terbengkalai antara lain kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Penghilangan Paksa 1997/1998, kasus Wasior, kasus Wamena, kasus Penembakan Mahasiswa Trisakti, kasus Semanggi I dan II, serta kasus Talangsari-Lampung.
Mekansime lain dari penuntasan kasus pelanggaran HAM, selain pengadilan HAM yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2000, adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diatur oleh UU No. 27 tahun 2004. Mekanisme KKR menjadi salah satu upaya pengungkapan kebenaran dari suatu kasus pelanggaran HAM di luar pengadilan. Namun pada tanggal 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 27 tahun 2004 mengenai KKR tersebut. Menurut Mahkamah Konstitusi, pembatalan UU KKR dikarenakan UU tersebut tidak memiliki konsistensi hokum sehingga menimbulkan ketidakpastian hikum dan tidak dapat dijalankan.
Untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 telah ada kemajuan dengan ditetapkannya rekomendasi oleh sidang paripurna DPR-RI yang berupa: 1) Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc; 2) Merekomendasikan Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang; 3) Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; 4) Merekomendasikan pemerintah agar segera meratfikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek penghilangan paksa di Indonesia. Namun rekomendasi tersebut hingga hari ini masih bisa dibilang berjalan di tempat karena belum ada tindak lanjut untuk mengimplementasikan keempat rekomendasi tersebut.
Federasi IKOHI menganggap penting upaya mendesak pemerintah melakukan pemenuhan, penegakan dan perlindungan HAM yang harus dilakukan oleh Negara. Untuk mengimplementasikan upaya pencapaian keadilan bagi korban pelanggaran HAM, maka Federasi IKOHI membentuk satu divisi khusus yang disebut Rumah Keadilan. Dalam upayanya untuk mendorong penegakan, penghormatan dan perlindungan HAM kepada seluruh korban dan kelurga korban pelanggaran HAM di Indonesia, IKOHI akan menjalankan pencarian keadilan dengan 3 (tiga) bidang kerja, yaitu: Kampanye dan Advokasi, Dokumentasi, dan Pembangunan Jaringan.
Fokus ketiga pekerjaan ini diarahkan pada usaha-usaha penggalangan potensi dan kekuatan organisasi serta dukungan publik guna mensinergikan kekuatan yang secara politik mampu memberikan desakan yang signifikan bagi Negara untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM.