Indonesia: Kegagalan menyelesaikan kasus penghilangan paksa hanya akan memperparah kultur impunitas
|PERNYATAAN PUBLIK
30 Agustus 2017
Bersamaan dengan diperingatinya Hari Anti Penghilangan Paksa sedunia hari ini, AFAD (Asian Federation Against Involuntary Disappearances), AJAR (Asia Justice and Rights), Amnesty International, IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), dan KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan) mendesak Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo untuk segera mengungkap kebenaran, serta menjamin keadilan dan reparasi pada keluarga korban penghilangan paksa seperti direkomendasikan beberapa instasi pemerintah. Organisasi kami juga mendesak Presiden Jokowi untuk memenuhi kewajiban pemerintah atas dasar hukum internasional, termasuk komitmen yang disampaikannya pada pidato Hari Kemerdekaan 2015 – untuk “mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu”.
Keluarga korban dari 13 aktivis politik – Sonny, Yani Afri, Ismail, Abdun Nasser, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, Bimo Petrus Anugerah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin and Hendra Hambali – yang dihilangkankan pada 1997-98 kembali meminta pemerintah mengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi pada mereka 19 tahun lalu.
Selain itu, keluarga korban dan beberapa Lembaga Non-Pemerintah di Aceh menyerukan pula kepada pemerintah Indonesia untuk mengungkap apa yang terjadi pada mereka yang dihilangkan paksa di Aceh selama 29 tahun konflik antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di wilayah paling barat Indonesia itu. Kemudian di Timor Leste, banyak dari keluarga korban juga menuntut kejelasan nasib dan keberadaan mereka yang hilang dan dihilangkan saat okupasi Indonesia terjadi (1975-1999) dan saat referendum kemerdekaan tahun 1999 berlangsung.
Organisasi kami kecewa bahwa meski terdapat banyak pernyataan resmi dan rekomendasi yang mendukung upaya pengungkapan kasus penghilangan paksa di Indonesia, hampir semuanya seolah tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan laporan Komnas HAM tahun 2006, DPR RI mengusulkan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2009 untuk membentuk pengadilam HAM ad hoc untuk mengadili mereka yang diduga telah melakukan penghilangan paksa pada kisaran tahun 1997-98. Namun sayangnya hingga akhir masa jabatannya, Presiden Yudhoyono gagal untuk mengeluarkan keputusan presiden agar terlaksananya pengadilan HAM tersebut. Selain itu, rekomendasi lain yang perlu dijalankan adalah pencarian 13 aktivis yang hilang oleh aparat Indonesia, menyediakan “kompensasi dan rehabilitasi” bagi keluarga korban, serta meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Delapan tahun berlalu namun belum ada upaya serius dari pemerintah Indonesia untuk menjalankan rekomendasi ini.
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk pemerintah Indonesia dan Timor-Leste menghasilkan laporan akhir pada tahun 2008 yang merekomendasikan pemerintah Indonesia dan Timor-Leste bekerja sama mengungkap nasib mereka yang dihilangkan paksa selama masa seputar referendum 1999. Bentuk pengungkapan yang diusulkan oleh KKP yang telah dibentuk sejak 2005 itu adalah dengan membentuk Komisi untuk Orang-Orang yang Dihilangkan. Namun nyatanya komisi yang direncanakan itu belum juga terwujud dan pembahasannya sering dikesampingkan dalam pertemuan bilateral.
Di Aceh, setelah bertahun-tahun upaya kampanye dan advokasi, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akhirnya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) pada 2013. Kemudian pada Juli 2016 DPRA menunjuk tujuh komisioner KKR dengan masa jabatan antara 2016 hingga 2021. Komisi tersebut diharapkan mengungkap situasi pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, termasuk mencari kebenaran tentang nasib dan keberadaan mereka yang hilang dan dihilangkan paksa serta menyediakan pemakaman yang manusiawi bagi yang tewas. Dengan sumber daya yang terbatas, KKR Aceh telah memulai upaya pengungkapan kebenaran dengan mengumpulkan kesaksian korban.
Penghilangan paksa adalah kejahatan dan pelanggaran HAM yang serius karena merampas hak mereka yang dihilangkan serta dari keluarganya seperti tertulis dalam hukum Internasional. Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang atas Penghilangan Paksa yang diadopsi Sidang Umum PBB pada 1992 menyatakan bahwa investigasi atas kasus tersebut “harus dilakukan selama nasib para korban penghilangan paksa masih belum jelas” (Pasal 13(6)). Penghilangan paksa juga berhubungan dengan pelanggaran hak asasi yang lain seperti perlindungan dari penangkapan sewenang-wenang; hak untuk diakui sebagai subjek hukum; hak untuk mendapat perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang tak manusiawi; serta hak untuk hidup.
Para keluarga korban berhak pula mengetahui apa yang terjadi pada mereka yang dihilangkan sebagai bentuk pemenuhan hak atas kebenaran. Hak untuk mengetahui nasib dan keberadaan anggota keluarga yang hilang itu, baik itu pada masa damai maupun konflik, termuat dalam Pasal 24 (3) dari Konvensi Internasional untuk Perlindungan atas Penghilangan Paksa (dimana Indonesia telah menandatangani namun belum meratifikasi), termasuk diakui pula oleh yurisprudensi badan HAM internasional dan regional, serta pengadilan nasional. Kegagalan untuk menginvestigasi kejahatan ini, mengadili mereka yang bersalah meski bukti-bukti cukup tersedia, termasuk mengungkap nasib mereka yang dihilangkan, hanya akan melanggengkan kultur pelanggaran HAM dan impunitas di Indonesia.