Kami tagih janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus penghilangan paksa 1997-1998

news_19_1409413382

Pernyataan Sikap

IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA

“Kami tagih janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus penghilangan paksa 1997-1998”

Sikap politik menolak Prabowo Subianto dalam jabatan-jabatan politik dan menuntut pertanggungjawabannya telah menjadi sikap IKOHI sejak dibentuk pada September 1998. IKOHI memandang selama 21 tahun kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998  yang diduga melibatkan Prabowo belum menunjukan kemajuan. Apa yang dilakukan IKOHI sejalan dengan rekomendasi DPR RI untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Presiden Jokowi sampai 5 tahun pertama pemerintahannya (2014-2019), belum merespons rekomendasi dari DPR tersebut.

Harus dipahami bahwa sikap IKOHI pada Pemilu Presiden pada 2014 dan 2019 untuk mendukung calon presiden  Joko Widodo adalah kelanjutan dari  sikap IKOHI selama 21 tahun terakhir, bahwa IKOHI menolak calon presiden yang diduga kuat sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus penculikan/penghilangan secara paksa para aktivis demokrasi tahun 1997/1998, yakni Prabowo Subianto.

Pada periode pertama Presiden Jokowi, keluarga korban penghilangan paksa sempat memiliki harapan kepada presiden Jokowi dengan beberapa pernyataannya. Pada tanggal 9 Desember 2014, di Yogyakarta, Presiden Jokowi di hadapan para korban dan penyintas kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, menyatakan bahwa “Pemerintah terus berkomitmen untuk bekerja keras dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu secara berkeadilan …. Ada dua jalan yang bisa kita lalui, yaitu lewat jalan rekonsiliasi secara menyeluruh, yang kedua, lewat pengadilan HAM ad hoc.

Pernyataan presiden tersebut dikuatkan kembali dalam pidato kepresidenan pada tanggal 14 Agustus 2015. Pada kesempatan tersebut presiden menyatakan bahwa “Saat ini Pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Anak-anak bangsa harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas. Semua itu merupakan langkah awal pemerintah untuk menegakkan kemanusiaan di bumi Nusantara.”

Kemudian di dalam Pidato Kenegaraan dalam Sidang Tahunan DPR RI tangga 16 Agustus 2018, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari.

Kami kecewa dengan perkembangan situasi politik terakhir di mana presiden Jokowi tampak bermesraan dan ada kemungkinan hendak menggandeng Prabowo Subianto menjadi bagian dari pemerintahanya kedepan. Sikap Presiden Jokowi telah mencederai  janji dan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.  Sikap penolakan pelanggar HAM dalam pemeritahan Jokowi, pernah IKOHI sampaikan sebelumnya dengan menolak Menkopolhukan Wiranto, yang diduga  kuat sebagai pelaku pelanggar HAM di Kemenkopolhukam.

Kasus penghilangan orang secara paksa 1997/1998 telah berlangsung selama 21 tahun. Keluarga korban masih terus menanti kejelasan keberadaan mereka yang masih hilang. Satu per satu orang tua korban telah meninggal dalam penantian panjang dalam  ketidakkpastian akan keberadaan anak-anak atau suami mereka yang belum dikembalikan. Mereka di antaranya adalah ibunda Wiji Thukul, Bu Tuti Koto (ibunda Yani Afri), ayah dan ibunda (Bu Nurhasanah) Yadin Muhidin, Pak Paimin (ayahanda Suyat), Pak Sahir (ayahanda Herman Hendrawan), Pak Fatah (ayahanda Gilang), Bu Misiati Utomo (ibunda Petrus Bima Anugerah) adalah beberapa orang orang tua korban yang selama hidupnya memperjuangkan dan menanti anak-anak mereka. Beberapa keluarga korban lain juga dalam kondisi kesehatan yang menurun akibat tekanan atas tindak pelanggaran HAM yang mereka alami.

Sebagai pengingat, kasus penghilangan orang secara paksa Periode 1997/1998 sesungguhnya merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang memiliki “modal dasar” untuk segera diselesaikan, yakni telah ada penyelidikan Pro Justisia oleh Komnas HAM pada tahun 2006 dan Rekomendasi DPRI RI pada tahun 2009. Adapun rekomendasi DPR adalah:

  1. Merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-hoc;
  2. Merekomendasikan Presiden serta segenap insitusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang;
  3. Merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang;
  4. Merekomendasikan Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktek Penghilangan Paksa di Indonesia.

Kami mendesak presiden Jokowi untuk membuktikan komitmen yang dinyatakannya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Presiden jangan hanya membuat janji politik untuk pencitraan dan mobilisasi suara. Secara khusus IKOHI mendesak penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis demokrasi 1997-1998.  Kami menuntut pemerintahan Jokowi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, hal  prioritas yang perlu segera dilakukan di awal periode kedua pemerintahannya periode 2019-2024 adalah:

(1) Presiden segera memberikan kepastian status kependudukan dan keberadaan 13 aktivis yang masih hilang.     Pemberian status kependudukan bagi ke-13 orang korban penghilangan paksa berdasarkan pada:

  • Dokumen penyelidikan Pro Justicia yang dilakukan oleh Komnas HAM tahun 2006;
  • Dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang telah memeriksa para perwira yang diduga sebagai pelaku penghilangan paksa 1997/1998;
  • Dokumen Pengadilan Militer atas para prajurit dalam TIM MAWAR KOPASSUS sebagai pelaku penghilangan paksa 1997/1998;
  • Pemeriksaan tambahan kepada para saksi.

(2) Presiden segera memerintahkan Kementerian terkait (c.q. Kemenlu dan Kemenkumham) untuk mempercepat proses ratifikasi Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Ratifikasi konvensi tersebut mendesak untuk menjamin perlindungan warga negara Indonesia dari tindakan penghilangan orang secara paksa. Ratifikasi ini juga merupakan wujud komitmen dan tanggung jawab pemerintah Indonesia terhadap kewajiban internasional di bidang HAM.

(3)Kami berharap pada peringatan hari HAM internasional 10 Desember 2019, Presiden Jokowi sudah melakukan langkah-langah konkret terhadap usulan kami dalam hal status kependudukan ke-13 orang yang masih hilang dan ratifikasi Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

(4)Keluarga korban penculikan aktivis menuntut pemerintah Jokowi untuk membentuk semacam tim pencarian aktivis yang dihilangkan paksa pada 1997/1998, sejalan dengan rekomendasi DPR RI.

(5) Meminta Presiden Jokowi dalam pemerintahan kedua 2019-2024 tidak melibatkan Prabowo dalam pemerintahannya, karena dugaan keterlibatan dalam kasus penghilangna paksa aktivis demokrasi 1997/1998.

Jakarta,  18 Oktober 2019