Segera Tuntaskan Kasus, Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa
|Siaran Pers ELSAM dan IKOHI
Memperingati Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa
Segera Tuntaskan Kasus, Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa
Setiap tanggal 30 Agustus, masyarakat dunia memperingati Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa (International Day of the Victims of Enforced Disappearances). Peringatan ini dimaksudkan sebagai penanda bahwa kasus penghilangan paksa telah menjadi masalah global serius, yang harus diselesaikan oleh negara-negara di seluruh dunia. Sejak dideklarasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 65/209, peringatan ini sekaligus menjadi seruan agar negara-negara segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/CPED). Konvensi tersebut merupakan kerangka hukum bagi setiap negara untuk menetapkan langkah-langkah tindak lanjut, untuk memenuhi hak-hak korban penghilangan paksa. Sekaligus kerangka mereformasi sistem hukum dan kebijakan untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa di masa depan. Hingga saat ini, baru 63 negara yang telah meratifikasi CPED dan Kamboja menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah mengadopsi.
Sejak tahun 1980, UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearance (UNWGEID) telah mendokumentasikan 57.891 laporan kasus penghilangan paksa di 108 negara di dunia. Kasus-kasus ini termasuk 164 kasus luar biasa (outstanding cases) di Indonesia yang dilaporkan oleh organisasi masyarakat sipil yang hingga kini belum memperoleh kejelasan penanganan dari Pemerintah Indonesia, di mana enam di antaranya adalah korban perempuan. Dalam catatan UNWGEID, kelompok kerja tersebut sudah tiga kali mengirimkan General Allegations kepada Pemerintah Indonesia yaitu pada tahun 2011, 2013, dan 2017. Sejak 12 Desember 2006 hingga 18 Januari 2019, UNWGEID juga mengirimkan permintaan kunjungan resmi ke Indonesia namun tidak pernah ditanggapi.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) merujuk pada berbagai laporan pemantauan dan penyelidikan, korban penghilangan paksa di Indonesia mencapai hingga lebih dari 53.000 korban. Jumlah itu didokumentasikan dari delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi, mulai dari Tragedi 1965-1966 sebanyak 32.774 dilaporkan hilang, Kasus Pembunuhan Misterius 1982-1985 sebanyak 23 orang hilang, Kasus Tanjung Priok 1984 sebanyak 23 orang hilang, Kasus Talangsari 1989 sebanyak 88 orang, Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Kerusuhan Mei 1998 sebanyak 13 orang, Kasus Penerapan Daerah Operasi Militer Aceh 1989-1998 sebanyak 1.935 orang dilaporkan hilang, dan Kasus Timor-Timur 1975-1999 sebanyak 18.600 orang hilang. Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang hilang selama penerapan berbagai operasi militer di Papua mulai dari tahun 1965 hingga 2001.
Indonesia sesungguhnya telah berulang kali diperingatkan oleh berbagai komunitas internasional untuk segera menuntaskan kasus-kasus penghilangan paksa yang terjadi. Dalam Concluding Observations tahun 2013 terkait pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Komite HAM PBB dalam salah satu rekomendasinya mendesak agar Pemerintah Indonesia menindaklanjuti hasil investigasi yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Kasus Penculikan Aktivis tahun 1997-1999. Selain itu, Indonesia juga didesak untuk segera meratifikasi CPED dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) yang dilaksanakan tahun 2017 lalu. Rekomendasi tersebut dibuat oleh setidak-tidaknya tujuh negara.
Lebih jauh, pemerintah Indonesia belum mengambil langkah-langkah yang berarti untuk merespons berbagai desakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa. Ketiadaan kerangka hukum yang memadai dan absennya peta jalan pemenuhan hak-hak korban penghilangan paksa, memperlihatkan kurangnya komitmen Pemerintah untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Padahal, pada tahun 2009 DPR telah mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah untuk segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus penghilangan paksa 1997-1998, memastikan nasib korban yang masih hilang, menyediakan pemulihan kepada korban, dan meratifikasi CEPD. Sayangnya, belum satu pun rekomendasi tersebut dilaksanakan. Padahal, sebagai salah satu anggota Dewan HAM PBB, Pemerintah Indonesia seharusnya menunjukkan keseriusannya dalam menuntaskan kasus-kasus penghilangan paksa sebagai wujud dukungannya terhadap pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak asasi manusia.
Harus diingat, dalam hukum internasional hak asasi manusia diakui, bahwa penghilangan orang secara paksa, adalah merupakan kejahatan yang ‘masih berlanjut’ (continuing crimes). Ini menekankan pada adanya dampak yang berlanjut (continuing effects), dimana para korban penghilangan paksa yang tidak pernah ditemukan dan tidak diketahui nasibnya. Akibatnya kasus-kasus penghilangan orang secara paksa yang tidak pernah terselesaikan, dikualifikasikan sebagai bentuk “continuing crimes”, atau kejahatan yang masih berlangsung hingga hari ini.
Menimbang situasi tersebut di atas, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Ikatan untuk Keluarga Orang Hilang (IKOHI) menilai, sejauh ini Pemerintah masih mengabaikan hak-hak keluarga korban penghilangan paksa. Hal ini terutama terkait dengan kejelasan nasib anggota keluarganya yang hilang dan ketiadaan mekanisme pemulihan yang efektif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak atas reparasi. Oleh karena itu, ELSAM dan IKOHI menekankan:
Pertama, mendesak Pemerintah untuk segera mengajukan usul inisiatif ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, dan mengadopsi segala bentuk penanganan dan penuntasan kasus-kasus penghilangan paksa ke dalam sistem hukum nasional, termasuk penyediaan mekanisme pemulihan yang efektif bagi keluarga korban.
Kedua, mendesak Pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR RI dan hasil penyelidikan Komnas HAM untuk menyelesaikan berbagai kasus penghilangan paksa secara menyeluruh, termasuk dengan melakukan upaya pencarian secara optimal terhadap mereka yang masih hilang, dan segera membentuk Pengadilan Ad Hoc untuk penuntasan kasus ini.
Ketiga, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menanggapi dan menerima permintaan kunjungan resmi yang dikirimkan oleh UNWGEID, serta menindaklanjuti berbagai rekomendasi komunitas internasional untuk menangani kasus-kasus penghilangan paksa yang terjadi.
Jakarta, 30 Agustus 2020
Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Wahyudi Djafar (Deputi Direktur Riset ELSAM), telepon: 081382083993; Zaenal Muttaqin (Sekretaris Umum IKOHI), telepon: 081285759634; atau Miftah Fadhli (Peneliti ELSAM), telepon: 087885476336.