Film “Yang Tak Pernah Hilang” sebagai Memorialisasi Perjuangan HAM #MelawanLupa

Siaran Pers
Film “Yang Tak Pernah Hilang” sebagai
Memorialisasi Perjuangan HAM #MelawanLupa

Pada Sabtu, 22 Juni 2024, IKOHI dan #KawanHermanBimo akan melakukan pemutaran film dokumenter “Yang Tak Pernah Hilang” di bioskop Epicentrum 2, Jakarta. Dalam upaya sosialisasi film dan pesan yang akan disampaikan melalui film ini maka pada Jumat, 21 Juni dilakukan jumpa pers di sekretariat KontraS, di Jakarta. Dalam jumpa pers tersebut hadir Dandik Katjasungkana, produser film, Lilik HS dari Persaudaraan IKOHI, Utomo Rahardjo ayahanda Bimo Petrus dan Jane Rosalina dari KontraS.

Film Yang Tak Pernah Hilang lahir saat negara masih abai dan kecenderung melupakan kejahatan masa lalu. Film muncul sebagai bentuk memorialisasi dan perjuangan #MelawanLupa. Memorialisasi adalah sebuah upaya merawat ingatan publik dalam bentuk fisik dan lainnya atas peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu dan sebagai bentuk penghormatan atas martabat korban. Memorialisasi dapat berupa pendirian monumen, pendirian museum, penetapan hari besar peringatan peristiwa pelanggaran HAM, buku, monumen, film dan berbagai ekspresi kebudayaan lainya. Memorialisasi juga merupakan sebagian pemenuhan hak korban atas pemulihan, membangun ruang ingatan kolektif untuk mengenang pelbagai peristiwa kelam pelanggaran HAM dan menjadi pembelajaran penting agar peristiwa serupa tidak berulang di masa depan. Dalam misi inilah film Yang Tak Pernah Hilang dilahirkan.

Menurut Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, memorialisasi sebagai bentuk pemulihan kolektif dan simbolik. “Bertujuan untuk memberikan ruang bagi korban untuk menjelaskan masa lalu serta mengajak masyarakat untuk mengenang pengalaman masa lalu sebagai upaya untuk mencegah keberulangan,” ujarnya. Sementara itu, menurut Komisi HAM PBB memorialisasi harus dipahami sebagai sebuah proses untuk memberikan ruang yang diperlukan bagi mereka yang terkena dampak pelanggaran hak asasi manusia untuk mengartikulasikan narasi mereka. (A/HRC/25/49: Report on memorization processes in post-conflict and divided societies, 23 Januari 2014)

Film dokumeter Yang Tak Pernah Hilang lahir saat situasi politik dan HAM di Indonesia mengalami degradasi. Film ini sebagai memorialisasi yang mengingatkan publik, terutama generasi muda, bahwa korban-korban penculikan aktivis 1998 belum ditemukan dan mendapatkan keadilan.

Produser film yang juga Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur, Dandik Katjasungkana, mengatakan pembuatan film ini merupakan bagian dari upaya untuk mendesak pemerintah serta elit politik agar menyelesaikan kasus ini dan sebagai perjuangan #MelawanLupa. “Film ini sebagai upaya menghidupkan kembali ingatan tentang kawan yang hilang dan tidak adanya upaya untuk mengungkap keberadaan mereka hingga kini,” ujarnya.
Film Yang Tak Pernah Hilang telah diluncurkan pertama kali di Surabaya pada Maret 2024. Utomo Rahardjo, ayah dari Bimo Petrus, menyambut penuh haru kehadiran film ini. “Seperti energi baru untuk berjuang bagi anak saya yang masih hilang. Upaya mengingat Bimo dan Herman melalui film ini menjadi kekuatan tersendiri bagi saya,” ujarnya.

Keluarga Herman Hendrawan di Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyebut film ini membuat sosok Herman seolah selalu hidup. Hera Haslinda, kakak Herman menyatakan, “Film ini menegaskan bahwa Herman tidak pernah hilang dari ingatan dan hati semua orang terdekatnya. Meski secara fisik Herman tidak berada di antara kami,“ ujarnya.

Perjuangan #MelawanLupa
Menurut Dandik, ide film telah digagas pada 2019 dan selesai pada Februari 2024. Dandik melihat isu kemanusiaan yang menjadi benang merah dalam film ini. “Jangan sampai isu besar kemanusiaan soal penghilangan paksa yang kami angkat dalam film ini akhirnya dianggap recehan,” ujarnya.

Muhammad Iqbal, dosen FISIP Universitas Jember dan kawan dua aktivis tersebut, menyebut hilangnya Herman dan Bimo adalah tragedi kemanusiaan. “Film Yang (Tak Pernah) Hilang ini harus dilihat dalam konteks sejarah masa depan, bagaimana peradaban dibangun dengan sebuah tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, yang sampai hari ini absen. Problem besarnya adalah bagaimana mengungkap peristiwa kemanusiaan ini,” katanya.

Sementara itu, Airlangga Pribadi dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga menyebutkan “Ternyata kita bisa melihat di sini bahwa mereka yang berjuang ternyata adalah orang-orang yang mencintai negaranya. Mereka memiliki wawasan serta visi mendalam tentang demokrasi. Mereka mengorbankan semuanya untuk perubahan keadilan di Republik ini.”

Menurut Zaenal Mutaqien, Sekjen IKOHI, film ini akan membantu generasi muda untuk mengetahui luka-luka sejarah di balik kisah heroisme gerakan reformasi 1998. “Kisah kelam kekuasaan yang menggunakan militer untuk menculik para ativis reformasi penting untuk kaum muda agar tidak terulang di masa depan. Film ini adalah alat perjuangan melawan lupa,” tandar Zaenal.

Monumen Perjuangan Reformasi
Sebelum memorialisasi berbentuk film dokumenter, gagasan diawali dengan membangun Monumen Perjuangan Reformasi. Sejak 2007 berbagai upaya lobby dengan pihak rektorat belum menemui titik temu. Harapan membangun monumen kembali membuncah saat audiensi dengan Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TPPHAM) Menkopolhukam pada November 2023 di Jakarta. Pertemuan sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang PPHAM. Dandik yang mewakili IKOHI Jawa Timur menjelaskan tentang rencana memorialisasi korbang penghilangan paksa di kampus Unair yang belum menemukan titik temu.

“Di samping sebagai penanda untuk merawat memori kolektif, secara khusus, monumen tersebut adalah sebagai simbol penghormatan terhadap dua mahasiswa Universitas Airlangga yang menjadi martir demokrasi: Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah. Mereka berdua telah mendedikasikan seluruh apa yang dimilikinya untuk sebuah cita-cita kaum cendekia maupun seluruh bangsa: terwujudnya kebebasan, demokrasi dan tegaknya martabat kemanusiaan,” ujar Dandik.
Monumen yang diberi tema “Monumen Perjuangan Reformasi” didesain oleh pematung Dolorosa Sinaga. Dolorosa merupakan dosen Senirupa di Institut Kesenian Jakarta dan pernah menjadi Dekan Fakultas Senirupa IKJ tahun 1992 – 2000. Karya-karya Dolorosa memperlihatkan kepeduliannya pada  isu sosial dan budaya, seperti keimanan, krisis, solidaritas, multikulturalisme,  perjuangan perempuan, dan HAM. Salah satu karyanya bisa kita lihat adalah ​Monumen Semangat 66 di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Dolorosa juga menjadi salah satu seniman ​dalam program Belajar Bersama Maestro (BBM) 2019 yang diadakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada akhirnya film ini juga bisa dianggap sebagai juru bicara harapan keluarga korban penculikan aktivis 1997 dan 1998. Hera kakak Herman meminta kesungguhan pemerintah untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa 13 orang mahasiswa era 1997-1998. “Untuk pemerintah, minta tolong diselesaikan, dituntaskan masalah ini supaya terungkap. Kalau memang tahu makam, kuburannya, ya diberi tahu agar kami bisa ke sana, ziarah. Kalau memang tidak ketemu, pemerintah memberikan statemen,” tandasnya.

Utomo Raharjo juga telah lebih dari 26 tahun berjuang untuk mendapatkan kepastian anaknya mengungkapkan, ”Yang menjadi kegelisahan keluarga korban sekarang ini tidak tahu keberadaan anak-anak kami. Jadi, yang pertama kami ingin agar pemerintah mencari keberadaan para aktivis tersebut,” sebutnya.

Kami berharap film ini menjadi pemicu agar pemerintah menuntaskan kasus penghilangan paksa aktivis 1997/ 1998 serta mendorong masyarakat agar terus berjuang #MelawanLupa atas semua kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Jakarta 21 Juni 2024

Zaenal Mutaqien, Sekjen IKOHI
Dandik Katjasungkana, Produser Film
Lilik HS, Persaudaraan IKOHI
Utomo Rahardjo, ayahanda Bimo Petrus