Pidato Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI pada Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa
|Mengabadikan perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui monumen adalah cara penting untuk menjaga ingatan kolektif kita sebagai bangsa. Melalui monumen, kita mengingat kembali peristiwa kelam masa lalu agar tetap hidup dalam benak publik dan menjadi pengingat untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Pada peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, 30 Agustus, kita diingatkan akan pentingnya mengenang perjuangan melawan pelanggaran HAM dan penghilangan paksa yang pernah terjadi. Memorialisasi ini bukan hanya upaya untuk mengenang, tetapi juga sebagai sarana edukasi bagi masyarakat agar selalu waspada dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Mendirikan monumen memiliki peran penting dalam memulihkan martabat para korban pelanggaran HAM. Monumen menjadi bentuk pengakuan atas penderitaan yang mereka alami, yang tak boleh dilupakan oleh sejarah. Pengakuan ini bukan hanya bersifat material, tetapi juga memiliki dimensi moral dan emosional yang menjadi bagian dari pemenuhan hak korban atas pemulihan dan penghormatan terhadap martabat mereka. Melalui memorialisasi, kita mengakui bahwa kisah para korban adalah bagian penting dari sejarah kita, dan pengakuan ini merupakan langkah penting dalam menyembuhkan luka masa lalu.
Monumen juga memainkan peran penting dalam mengintegrasikan narasi sejarah ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika monumen berada di ruang publik—seperti di kampus, taman kota, atau alun-alun—ia menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap perkotaan dan aktivitas warga. Narasi sejarah yang terukir di monumen tersebut tidak hanya menjadi pengingat masa lalu, tetapi juga terus berinteraksi dengan generasi masa kini, menjadikannya tetap relevan dan berfungsi sebagai penghubung antara sejarah dan kehidupan sehari-hari.
Memorialisasi juga membangun kesadaran kritis dan reflektif terhadap budaya kita. Monumen tidak hanya menyajikan narasi heroik, tetapi juga menampilkan aspek-aspek gelap sejarah yang sering terabaikan atau dilupakan. Monumen menjadi ruang untuk merenung, berdialog, dan belajar dari sejarah, termasuk mengakui dan memahami kompleksitas perjalanan bangsa kita.
Selain itu, monumen dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam diskusi lebih luas tentang HAM dan keadilan. Ruang memorial sering menjadi tempat berkumpul untuk berbagi cerita, pengalaman, dan refleksi. Monumen menjadi titik temu yang memperkuat komitmen kolektif untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan, serta memperdalam pemahaman kita akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan.
Pada akhirnya, monumen adalah arsip kolektif yang diwujudkan dalam bentuk fisik, simbol ingatan dan harapan yang terus hidup. Monumen menjadi bukti nyata dari upaya kita untuk melawan lupa, menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam benak kita. Melalui monumen, kita selalu diingatkan tentang masa lalu bangsa ini, dan diajak untuk membayangkan masa depan bersama yang lebih adil dan manusiawi.
Semoga pendirian Monumen Perjuangan Reformasi di Kampus Universitas Airlangga menjadi titik penting dalam perjuangan kita menuju keadilan sosial. Semoga monumen ini menjadi pengingat bahwa sejarah kita, meski pahit, adalah bagian dari perjalanan menuju masa depan yang lebih baik.
Hilmar Farid
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI