Keluarga Datangi Kantor Staf Presiden Tuntut Status Kependudukan 13 Korban Penghilangan Paksa 1997/1998
|Keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998 mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP) hari ini (15/10) untuk menanyakan perkembangan penyelesaian kasus yang mereka alami. Bapak Utomo Rahardjo (ayah Petrus Bimo Anugerah), Bapak dan Ibu Paian Siahaan (orangtua Ucok Munandar Siahaan), Suyadi (kakak Suyat) datang bersama pengurus IKOHI, KontraS, serta Mugiyanto (INFID). Mereka meminta kepada presiden Jokowi untuk segera memberikan status kependudukan bagi 13 orang yang hingga kini belum kembali sejak dua puluh tahun lalu. Pihak KSP yang menerima adalah Deputi V.
Status kependudukan sangat penting bagi keluarga korban karena sampai saat ini ke-13 orang hilang tersebut masih tercantum di dalam Kartu Keluarga dengan status hidup. “Ucok Munandar hilang setelah usianya 17 tahun. Jadi setiap Pemilu dikasih surat undangan pencoblosan. Saya harus bilang apa kepada mereka bahwa anak saya tidak jelas statusnya, masih hidup atau sudah meninggal,” terang Pak Paian. Pak Paian juga datang mengajak istrinya yang tengah menderita sakit. Ibu Paian perlu datang untuk menekankan kepada KSP agar serius membantu presiden memberikan kejalasan nasib anaknya. “Jangan ada janji-janji lagi. Sebaiknya ini yang terakhir saya datang ke sini. “Sudah berkali-kali saya mendatangi istana dan lembaga-lembaga negara untuk menanyakan kejelasan nasib anak saya,” pinta Bu Paian dari kursi rodanya.
Senada dengan Pak Paian, Pak Utomo menyampaikan bahwa akibat dari ketidakjelasan nasib orang yang masih hilang, banyak orang tua yang menderita hingga meninggal dalam ketidakpastian nasib orang-orang yang mereka cintai. “Bulan Agustus lalu istri saya (ibunda Petrus Bimo Anugerah) akhirnya mendapat giliran menyusul para ibu dan bapak keluarga korban yang sudah pergi meninggalkan kita semua. Bagi saya, istri saya yang sudah berjuang dua puluh tahun mencari kejelasan nasib anak yang dicintainya adalah pahlawan HAM sesungguhnya,” kenang Pak Utomo dengan wajah haru.
Mugiyanto, salah seorang korban penculikan 1998, menerangkan bahwa kedatangan keluarga korban penghilangan paksa ke KSP kali ini untuk menindaklanjuti pertemuan para keluarga korban pelanggaran HAM dengan presiden Jokowi bulan Mei lalu. Perlu upaya konkret dari pihak istana untuk menyelesaikan kasus per kasus sehingga ada kemajuannya. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM juga merupakan janji presiden Jokowi yang harus dilakukan. Ini merupakan waktu yang tersisa bagi presiden Jokowi pada periode pemerintahannya kali ini untuk menuntaskan janji-janjinya dalam Nawacita. Nawacita juga dibuat untuk dilaksanakan selama lima tahun, sehingga penting bagi presiden melakukan langkah konkret untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. “Kami tahu ada tantangan politik dan hukum dalam penyelesaian. Namun demikian presiden harus tetap melakukan sesuatu agar hak korban dan keluarganya dipenuhi. Usulan kami adalah segera dikeluarkan status kependudukan bagi ke-13 korban hilang dengan dasar hukum dan instrumen yang tersedia di pemerintahan. Hal mendesak lainnya adalah presiden perlu segera mengambil alih proses ratifikasi konvansi anti penghilangan paksa sebagai instrumen nasional untuk menjamin tidak ada lagi tindakan penghilangan paksa tersebut,” tegas Mugianto.
Pada kesempatan tersebut para keluarga juga menyampaikan perlunya pemerintah memberikan bantuan psikososial bagi keluarga korban. Akibat dari penderitaan yang mereka alami berdampak pada kesehatan dan penghidupan mereka. Pemerintah harus melakukan pemulihan mendesak tanpa harus menunggu proses pengadilan bagi pelaku. “Apa kami, keluarga korban ini, harus menunggu punah semua meninggal satu per satu tanpa ada penyelesaian? Dimana nurani pemerintah dan moral bangsa ini?,” tanya Pak utomo menutup pertemuan.