Komitmen Jokowi dan Capres 2024 terkait Pemenuhan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM

Rilis Media

Hasil Diskusi Publik “Merangkai Jalan Konstitusional untuk Menjamin Adanya Pengungkapan Kebenaran, Keadilan, Pemulihan Hak Korban” dan Tuntutan Korban Pelanggaran HAM Berat atas Komitmen Jokowi dan Capres 2024 terkait Pemenuhan Hak-Haknya.

 

Jakarta, 14 Desember 2023

Tuntutan pertanggungjawaban negara untuk menyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat terus disuarakan oleh masyarakat sipil dan komunitas korban pelanggaran HAM. Presiden Joko Widodo di awal tahun 2023 mengumumkan secara resmi pengakuan dan penyesalan terhadap terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM yang berat. Pernyataan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi laporan yang disampaikan oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM), yang dibentuk oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor  17/2022, pada Agustus 2022. Kemudian Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 4/2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM dan Instruksi Presiden Nomor 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM terhadap 19 Lembaga dan Kementerian Negara. Kebijakan tersebut hanya berfokus pada pemenuhan hak pemulihan bagi korban dari 12 kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Data kasus lain khususnya data korban pelanggaran HAM di Aceh dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh tidak diakomodasi seluruhnya.

Kebijakan nonyudisial tersebut sesungguhnya hanya memenuhi sebagian kecil dari hak-hak korban pelanggaran HAM yang harus dipenuhi, yakni hak atas keadilan, hak atas kebenaran, juga jaminan ketidakberulangan.

Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) yang merupakan Gugus Kerja Penguatan Korban sekaligus Sekretariat Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), aliansi yang terdiri dari 50 organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM yang fokus memperjuangkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM Masa Lalu telah mempublikasikan policy paper “Memastikan Keberlanjutan Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Merangkai Jalan Konstitusional untuk Menjamin Adanya Pengungkapan Kebenaran, Keadilan, dan Pemulihan Hak Korban”. Kertas Kebijakan ini hasil konsensus bersama yang melibatkan partisipasi anggota KKPK dari Aceh dan Papua.

Di tingkat lokal, dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang bekerja sejak 2016 melalui Qanun Aceh Nomor 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh, telah melakukan banyak upaya untuk mendokumentasi kesaksian 5200 korban, dengar kesaksian dan pendidikan publik hingga menyelesaikan laporan temuan dan rekomendasi atas peristiwa pelanggaran berat HAM selama kurun 1975 – Agustus 2005. Masthur Yahya, Ketua KKR Aceh, menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2017-2020 KKR Aceh mendokumentasikan lebih dari lima ribu dokumentasi korban dan merekomendasikan kepada pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat untuk menindaklanjutinya. “Rekomendasi pemulihan hak atas reparasi korban serta data korban juga telah diserahkan kepada Menkopolhukam, Mahfud MD pada Maret 2023 lalu, namun belum ada tindak lanjut lagi” ujarnya. KKR Aceh juga telah meluncurkan laporan temuan pada 12 Desember 2023 kepada pemerintah dan DPR Aceh.. Mengenai pemenuhan hak reparasi, harus dibedakan dari program bantuan sosial bagi warga masyarakat biasa. Laporan temuan dapat diakses di https://kkr.acehprov.go.id/.

Wahyudi Djafar, Direktur ELSAM sekaligus penulis dokumen kertas kebijakan yang berjudul “Memastikan keberlanjutan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dalam merangkai jalan konstitusional untuk menjamin adanya pengungkapan kebenaran, keadilan, pemulihan hak Korban” menyatakan bahwa pemenuhan hak-hak korban menjadi spirit dalam advokasi terhadap kebijakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Terkait tuntutan agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di tingkat nasional, masih ada peluang untuk terus dilanjutkan dengan prasyarat-prasyarat yang tersedia, baik prasyarat hukum maupun politik. Di bidang reformasi kelembagaan, masyarakat sipil juga terus melakukan advokasi untuk perbaikan kebijakan HAM di Indonesia. Ada banyak pelajaran dari banyak negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat yang dapat dijadikan contoh, namun tetap bersandar pada prinsip-prinsip HAM, di antaranya prinsip akuntabilitas penegakan hukum dan partisipasi korban. “Jika penyelesaian HAM berjalan lambat dan mandek, maka akan mengakibatkan berlanjutnya stigma dan fragmentasi sosial, hilangnya memori kolektif atas kejahatan negara di masa lalu, terhambatnya konsolidasi demokrasi, hingga korban dan keluarga tidak kunjung mendapatkan hak-haknya” tutur Wahyudi.

Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat secara bermatabat, maka bangsa Indonesia bisa bergerak maju ke depan. Pemerintah Jokowi sejak awal menyampaikan bahwa ada dua jalan melalui mekanisme yudisial dan nonyudisial. Namun faktanya terdapat keterbatasan ruang gerak secara legal dengan dibatalkannya UU KKR pasa 2006. Pada akhirnya pemerintah membuat terobosan penyelesaian melalui mekanisme nonyudisial melalui Keppres No. 17/2022 di mana ada empat poin komitmen penting, yakni pengakuan telah terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat, adanya pengungkapan penyesalan atas peristiwa tersebut, pemulihan bagi para korban, dan langkah-langkah pencegahan agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi. “Kami tentu terus mendengar masukan dari para pihak untuk terus menyelesaikan secara menyeluruh. Sekurang-kurangnya dua hal yang perlu didorong dalam waktu dekat, yakni mendorong kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan ratifikasi konvensi internasional anti penghilangan paksa (ICCPED),” tambahnya.

Irene Gayatri, PhD. (peneliti BRIN), juga menyatakan bahwa komitmen pimpinan nasional menjadi faktor penting bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM. Perlu adanya mainstreaming dan tindakan konkret deri lembaga-lembaga negara sehingga program penyelesaian tersebut terus berlanjut. Misalnya memasukkan formula penyelesaian di dalam RANHAM, penyiapan anggaran, serta penggalangan solidaritas dan dukungan publik agar agenda penyelesaian terus hidup dan berkelanjutan, termasuk siapa pun pemerintah baru hasil Pemilu 2024. Adanya KKR Aceh menjadi pembelajaran menarik sebagai upaya di tingkat lokal yang mestinya juga perlu dibuat di Papua agar berbagai persoalan pelanggaran HAM dapat diselesaikan dari berbagai tingkatan beserta kewenangan yang dimilikinya. Khusus Papua, terdapat tantangan baru dari pemekaran wilayah menjadi 6 wilayah propinsi, tambahnya. Kita perlu mengakui bahwa sifat politik yang melekat pada isu-isu HAM bersumber dari kerentanan proses demokrasi yang ditandai dengan tarik menarik kekuasaan versus distribusi ekonomi dan eksploitasi sumber daya. Kita juga perlu intensitas koordinasi, komunikasi, perluasan jejaring dan terutama pengarusutamaan “isu” penyelesaian pelanggaran HAM berat di ranah kebijakan yang bisa dibahas bersama antara aktor-aktor  negara dan masyarakat sipil termasuk parpol.

Paian Siahaan, orang tua korban Penghilangan Paksa 1997/1998, menyampaikan bahwa dia beserta keluarga korban lainnya telah berjuang dua puluh lima tahun untuk mengetahui keberadaan dan status korban yang masih hilang. Hingga kini belum ada kemajuan mengenai keberadaan dan status para korban, apalagi penghukuman bari pelakunya. Ia merasa kecewa dengan banyaknya komentar para aktivis 1998 yang menyatakan kasus penghilangan paksa 1997/1998 telah selesai karena mendukung calon presiden pemilu 2024. Ia juga berharap proses penyelesaian pelanggaran HAM terus berlanjut ke depan. Hal senada disampaikan Ibu Maria Cornelia Sanu, Ibu korban hilang dalam kerusuhan Mei 1998, serta Wanmayetti dari keluarga korban Tanjung Priok. Walupun tetap mengapresiasi kebijakan pemenuhan pemulihan baru-baru ini namun berharap bahwa proses penyelesaian secara menyeluruh harus terus berlanjut.

Uchikowati, korban dalam peristiwa 1965, juga berharap bahwa pelanggaran HAM berat tetap menjadi agenda negara. Ia memiliki usul bahwa kisah-kisah pelanggaran HAM dapat dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran sekolah sehingga generasi sekarang bisa mengetahui dan belajar dari peristiwa masa lalu agar generasi sekarang tidak lagi mereproduksi kekerasan lagi. Perempuan berusia 60an ini sangat mengapresiasi adanya pengakuan dan penyesalan dari negara karena pengakuan  telah diperjuangkan para korban dan keluarganya sejak dulu.