Gerakan Kebangkitan Demokrasi May 18 dan Pentingnya Perjuangan Politik: Sebuah Refleksi

 “Anak-anak muda harus tahu tentang May 18  dan tahu apa yang telah dikorbankan dalam peristiwa itu.”

-Lim Geun Dan, May Mother

            Sebagai bagian dari IKOHI – Jaringan Sahabat Korban/(JSK) – Jaringan anak muda dan mahasiswa yang bersolidaritas kepada korban, saya mengikuti May 18 Academy 2015 yang diselenggarakan oleh May 18 Memorial Foundation di Gwangju dan Seoul, Korea Selatan pada tanggal 7 hingga 20 September 2015. Sebelum mengikuti 5.18 academy 2015, saya tidak banyak mengetahui apa yang dimaksud dengan gerakan kebangkitan demokrasi May 18 di Korea, kecuali beberapa informasi awalan dari internet. Melalui berbagai kuliah yang diberikan dalam May 18 Academy, saya memahami bahwa gerakan kebangkitan demokrasi May 18 hanya dapat dipahami dalam konteks sejarah modern Korea secara keseluruhan. Kondisi hidup yang tidak baik dibawah kediktatoran militer tak dapat dielakkan menjadi pemicu utama gerakan kebangkitan demokrasi May 18 pada tahun 1980. Meskipun demokrasi di Korea Selatan masih terus mendapat tantangan dimana kediktatoran militer berkuasa untuk yang kedua kalinya selama 14 tahun (1988-1993), gerakan perjuangan untuk demokrasi kembali bangkit pada tahun 1987 dimana pada tahun 1995, Jenderal Chun Doo Hwan serta Roh Tae Woo dihukum setelah melalui proses pengadilan. Setelah itu, Korea Selatan berada di bawah pemerintahan prodemokrasi yang dimulai pada tahun 1999. Terkait hal tersebut, gerakan kebangkitan demokrasi May 18 dalam sejarah Korea berada dalam posisi yang penting karena merupakan awal dari bangkitnya gerakan demokrasi Korea.

1Di academy ini, 19 peserta yang berasal 12 negara dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang concern pada Hak Asasi Manusia, perdamaian, dan demokrasi, diajak untuk memahami The Spirit of Gwangju yang menjadi semangat utama dari May 18 uprising dengan mendatangi berbagai tempat yang dapat memberikan gambaran mengenai hal tersebut. The Spirit of Gwangju ini sangat terasa manakala kami semua pada waktu itu mengunjungi national cemetery bagi para pejuang (atau pahlawan) demokrasi May 18 pada tahun 1980 maupun semua pejuang May 18 yang meninggal sesudah peristiwa tersebut. Disana, terpampang foto-foto dan nama-nama setiap orang yang menjadi korban kekejaman dan kebrutalan diktator militer Chun Doo Hwan pada waktu itu: pelajar, mahasiswa, dan warga Gwangju (lihat gambar).

2Betapa saya iri menyaksikan cemetery tersebut. Bagaimana tidak? di negeri kita, Indonesia, jangankan national cemetery bagi para pejuang demokrasi 1998 misalnya, ke-13 kawan kita saja masih hilang tak jelas rimbanya hingga saat ini. Ada nuansa yang sangat menyentuh ketika berada di dalam lingkungan cemetery tersebut. Dengan diiringi lagu The March of Loved One, kami memasuki area cemetery yang ditandai dengan lambang “Telur Demokrasi” dengan penuh hikmat. The March of Loved One ini sangat menggugah dan mengharukan. Pemandu disana menjelaskan bahwa setiap akan memasuki cemetery, lagu tersebut selalu diperdengarkan dan ternyata pula ada jam besar di “bundaran demokrasi” Gwangju, yang memutar The March of Loved One ini secara otomatis setiap pukul 5.18 sore. Sungguh mengagumkan!

The Spirit of Gwangju dan May 18 uprising sebagai penanda gerakan demokrasi Korea Selatan terlihat dengan jelas bahkan hingga di halte subway yang menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai tema utama. Ada banyak tulisan dan kampanye mengenai May 18 uprising di sepanjang halte dan ang membuat saya kagum ialah, bahwa pendidikan melalui halte subway ini juga dikemas untuk anak-anak. Tidak hanya itu, pendidikan untuk anak-anak mengenai gerakan kebangkitan demokrasi May 18 juga diberikan melalui buku-buku pelajaran yang secara khusus diproduksi oleh May 18 Memorial Foundation untuk anak-anak.  Selain itu, buku-buku ini juga dibuat untuk segmentasi siswa-siswi SMP dan SMA. Meskipun belum masuk ke dalam kurikulum resmi pendidikan disana, namun pengenalan sejarah gerakan rakyat seperti May 18 tetap sangat penting adanya agar generasi muda yang tidak mengalami peristiwa tersebut mengetahui dan dapat memahami arti penting dari perjuangan menuju demokrasi. Sebagai perbandingan, banyak generasi muda Indonesia saat ini tidak mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, misalnya apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan massal yang menewaskan, menurut Sarwo Edhi, sekitar 3 juta rakyat Indonesia pada tahun 1965-66. Selain karena pemalsuan sejarah yang banyak dilakukan melalui buku-buku sejarah, tidak banyak juga buku-buku alternatif yang dibuat khusus untuk segmen anak-anak dan pelajar untuk mengenalkan sejarah perjalanan Hak Asasi Manusia dan demokrasi di Indonesia.

3Kemudian, kami juga mengunjungi May 18 Archives dimana dapat terlihat dengan jelas bahwa arsip-arsip mengenai May 18 dikelola dengan baik disana. Bahkan, catatan rekaman medis korban May 18 tersimpan dengan sangat rapi dan terlihat dirawat dengan baik.  Apa yang membuat saya terkagum ialah bahwa ternyata sumber data arsip tersebut didapatkan melalui proses partisipasi yang aktif dari warga Gwangju. Mereka datang dengan sukarela memberikan testimoninya mengenai apa yang mereka ingat dan atau alami dalam peristiwa May 18. Terlebih, tidak ada yang dibayar dalam gerakan pengumpulan data untuk arsip ini. Beberapa instalasi yang terdapat dalam gedung arsip May 18 pun membuat saya terkagum. Instalasi-instalasi tersebut menggambarkan dengan jelas bahwa rakyat Gwangju pada saat itu bergotong royong dalam gerakan kebangkitan demokrasi May 18. Salah satu instalasi favorit saya ialah instalasi proses pembuatan flyer manual yang dijadikan andalan para pejuang demokrasi Gwangju saat itu.

Pengalaman lain yang tak kalah mengagumkan ialah ketika semua peserta mendapatkan kesempatan mendengarkan langsung pengalaman May Mother, Lim Geun Dan. Ibu Lim Geun Dan, ibu dari Kim Kyeong-Cheol bercerita bahwa anaknya yang tidak bisa mendengar dan bicara dihajar dengan sangat brutal oleh tentara hingga tangan dan kaki serta wajahnya hancur pada Mei 1980 itu. Pesan yang disampaikan Ibu Lim Geun Dan pun sangat menyentuh, bahwa upaya untuk mewujudkan demokrasi tidaklah mudah dan telah mengorbankan banyak nyawa.

4Kunjungan ke Gwangju Truma Center (GTC) yang bercita-cita bebas dari segala kekerasan yang dilakukan negara juga memberikan gambaran bahwa kekerasan yang dilakukan oleh negara masih pula terjadi hingga kini. Didukung oleh kementerian kesehatan Korea Selatan dan pemerintah lokal Gwangju, trauma center ini didatangi oleh 50 orang setiap minggunya yang mana klien yang datang merupakan penyintas dari kekerasan yang dilakukan oleh negara, namun tidak hanya terbatas dalam peristiwa May 18. Meskipun tidak mungkin untuk menyembuhkan trauma seutuhnya tanpa mengubah masyarakat, namun GTC memiliki beberapa program yang juga ditujukan ke arah sana.[1]

Secara keseluruhan, May 18 memorial project ini begitu berkesan untuk saya. Korea Selatan memiliki national cemetery, gedung arsip yang lengkap, buku-buku sejarah dan bahkan trauma center. Yang menjadi pertanyaan, mengapa semua ini bisa terwujud disana? Selain juga fakta bahwa para jenderal pemimpin operasi penyiksaan dan pembunuhan brutal pada waktu itu juga telah diadii. Ternyata, perjuangan politik lah yang memungkinkan semua itu terwujud. Kim Dae Jong yang merupakan aktivis May 18 menjadi Presiden Korea Selatan dimana dengan posisinya ini memungkinkan perjuangan untuk mewujudkan semua itu menjadi nyata. Sayangnya, perjuangan politik Kim Dae Jong hingga menjadi Presiden dan apa saja yang dilakukannya selama menjadi Presiden tidak begitu banyak dibahas dalam training program ini. Bagi saya, refleksi terbesar yang dapat ditarik dari pengalaman mengikuti training program ini ialah bahwa keberhasilan Korea Selatan dalam mewujudkan berbagai hal sebagaimana yang ditunjukkan di Gwangju sebagai City of Human Rights tidak terlepas dari perjuangan politik para aktivis gerakan kebangkitan demokrasi May 18.

-Note

[1]Terdapat beberapa program rutin termasuk program rehabilitasi sosial. Yang menarik, di GTC ini film “The Look of Silence” yang menceritakan peristiwa ’65-66 di Indonesia dari sudut pandang keluarga penyintas (Adi Rukun) begitu populer di GTC ini.

Penulis : Fathimah Fildzah Izzati

(Jaringan anak muda dan mahasiswa yang bersolidaritas kepada korban,, alumni May 18 Academy, 2015)