Kamisan: Menolak Lupa di Seberang Istana

Hari ini Kamis. Biasanya pada setiap petang, di pinggir jalan Medan Merdeka Utara pada sebuah ceruk aspal yang agak menjorok ke dalam parkiran Monas, terlihat sekumpulan orang berpayung dan berpakaian serba hitam. Mereka berdiri mematung dan memandang lurus ke arah seberang, tempat di mana Istana Negara berdiri megah menjulang. Mereka namai aksinya: Kamisan.

Kamis, 18 Januari 2007, merupakan hari pertama kali Maria Katarina Sumarsih -ibunda dari Bernardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, mahasiswa dari Universitas Atma Jaya yang tewas pada tragedi Semanggi I- mematung di depan Istana Merdeka. Hari itu memang merupakan hari pertama aksi Kamisan dimulai.

Panas, hujan, bahkan banjir pernah mereka alami. Namun, mereka tak peduli, diam berdiri melihat langsung lurus ke istana menembus teralis dan penjagaan menjadi sikap setiap aksi. Saat ini, delapan tahun telah mereka lewati. Kamisan sudah digelar sebanyak 396 kali.

Kamis dipilih sebagai hari yang sakral, bagi mereka yang akhirnya membuat suatu gerakan dan aksi konsisten disaat roda Jakarta berjalan begitu cepat. Istana jadi simbol kekuasaan yang layak diisi bukan hanya cerita bahagia, melainkan keluh, kesah bahkan rasa marah juga sedih yang mereka luapkan dalam diam di bawah payung hitam, setiap Kamis.

“Berawal dari ibu-ibu para korban kekerasan, Ibu Sumarsih dan Suciwati yang mengkoordinasi semua selama delapan tahun berjalan. Tempatnya masih di depan Istana,” kata Sekretaris Jenderal Ikatan Orang Hilang (Ikohi) Zaenal Muttaqin , Kamis (14/5).

Sumarsih dan Suciwati -istri mendiang aktivis HAM Munir Said Thalib- memang penggagas Kamis. Dua perempuan ‘super’ ini tetap menolak lupa atas aksi kekerasan yang menimpa orang-orang tercintanya. Bagi, Suciwati, kehilangan sang suami tercinta bukan berarti kehilangan asa. Pun Sumarsih, Ibunda yang terus memupuk harapan mencari jasad buah hatinya

Dua orang ibu itu lantas tak sendiri. Seorang korban kekerasan peristiwa 1965, Bejo Untung menemani mereka. Digenapi Bejo, mereka ibarat trio yang selalu menyerukan negeri ini tak baik-baik saja bagi mereka korban kekerasan. Bejo rutin hadir di Kamisan dengan agenda rehabilitasi bagi mereka korban kekerasan Partai Komunis Indonesia (PKI) di 1965/1966.

“Mereka bertiga lah yang akan terus duduk, diam dengan payung hitam di depan Istana,” ungkap Zaenal.

Setiap Kamis pula lah peserta Kamisan mengirimkan surat ke seberang -Istana Negara- tanpa tahu pucuk kertas bergurat tinta itu dibaca atau tidak oleh si empunya Istana. Tak sedikit mereka yang telah renta, namun banyak pula mereka yang masih muda, seperti Novridaniar Dinis anak gadis Yadin Muhidin korban penculikan yang sudah 17 tahun merindukan sang Ayah.

Pemimpin bangsa berganti, asa tetap menggelayuti mereka, setelah Susilo Bambang Yudhoyono kini berganti Joko Widodo. 12 Mei 17 tahun yang lalu, di halaman parkir Gedung Mall Klender yang dulu dikenal Yogya Plaza menjadi satu di antara tempat peringatan kekerasan, pembunuhan dan penculikan 1998, pun itu yang ingin disampaikan Suciwati dan kawan-kawan, untuk terus mengingatkan rasa kehilangan.

Kamis, di seberang Istana, harapan itu tetap ada. Pertanyaan itu muncul, sampai kapan trio pencari keadilan itu tetap beraksi? Adalah saat asa hanya tinggal berada di pundak, Suciwati, Sumarsih dan Bejo, saat aksi Kamisan hanya tinggal mereka yang usahakan, hanya tinggal meraka bertiga yang mengingatnya.

“Ibu Suciwati bilang, Kamisan akan berhenti jika aksi hanya tinggal dilakukan oleh tiga orang saja. Maka aksi akan dihentikan” kata Zaenal.

Add a Comment

Your email address will not be published.