Mendorong Rehabilitasi dan Pelayanan untuk Korban: Berawal dari yang mudah, mendorong yang lebih rumit

Mendorong Rehabilitasi dan Pelayanan untuk Korban:

Berawal dari yang mudah, mendorong yang lebih rumit 

Disampaikan oleh Galuh Wandita (AJAR) pada Kongres IV IKOHI

IKOHI mempunyai tempat khusus dalam sejarah reformasi di Indonesia. Karena itu sebagai sebuah organisasi harus disayang dan dirawat oleh semua pihak yang merasa mempunyai kepentingan dalam perjuangan melawan impunitas dan menuju penguatan HAM.  Setelah lebih dari 10 tahun (dengan SBY) dan pemerintahan paska-reformasi, memang kita merasakan berbagai kekecewaan. Berbagai janji belum ditepati. Tetapi jangan lupa bahwa kita juga telah meraih beberapa capaian yang penting: termasuk tidak pudarnya wacana korban dan penyelesaian pelanggaran HAM berat.  Bahkan pada saat pemilu yang baru saja berlalu, kekinian tuntutan korban untuk pertanggung-jawaban menjadi semakin nyata.

Saya diminta untuk berbicara tentang agenda pemulihan korban. Apabila kita menggunakan kerangka HAM maka kita harus melihat pada hak atas reparasi. Hak atas reparasi meliputi restitusi, kompensasi, rehabilitasi, jaminan tidak akan terulang lagi dan kepuasan.1 Hak untuk rehabilitasi dapat didefinisikan secara sempit sebagai akses ke layanan kesehatan atau bantuan kemanusiaan. Setelah sekian lama kita mendorong hak atas reparasi, mungkin ada baiknya kita menurunkannya menjadi anak tangga-anak tangga yang lebih kecil. Karena itu saya ingin berbicara tentang dua hal disini: rehabilitasi dan pelayanan.

Apa itu Rehabilitasi? 2

Pasal 14 dari 1985 PBB Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman (CAT) menyatakan bahwa “setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya bahwa korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk kompensasi yang adil dan memadai termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. “

Pengertian tentang hak atas rehabilitasi tumbuh dalam praktek. Pada tahun 2005, Prinsip-Prinsip Dasar PBB mendefinisikan rehabilitasi untuk “mencakup layanan medis dan perawatan psikologis serta hukum dan sosial.” Namun, pendekatan yang lebih holistik yang muncul, misalnya:

  • Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa rehabilitasi “menyiratkan pemberian bantuan hukum, perawatan medis, psikologis dan lainnya, serta langkah-langkah untuk memulihkan martabat dan reputasi para korban.” 3
  • Sebuah putusan Pengadilan Inter-Amerika memperkenalkan konsep rehabilitasi sebagai upaya memulihkan rencana hidup korban, menegaskan “Konsep ‘rencana hidup’ ini mirip dengan konsep pemenuhan cita-cita pribadi yang didasarkan pada pilihan seorang individu untuk menjalankan hidupnya dan mencapai tujuan yang ia tentukan untuk dirinya sendiri. Ini adalah bagian dari manifestasi dan jaminan kebebasan. Seorang individu tidak dapat dikatakan sebagai benar-benar bebas jika ia tidak memiliki pilihan untuk mengejar cita-cita dalam hidupnya….” 4
  • Timor-Leste Komisi Kebenaran, CAVR, rehabilitasi didefinisikan sebagai “penyediaan perawatan medis dan psikologis dan pemenuhan kebutuhan pribadi dan masyarakat yang signifikan.” Selanjutnya, CAVR menambahkan pemberdayaan sebagai salah satu prinsip dasar untuk rehabilitasi, memungkinkan korban “untuk mengambil kendali atas hidup mereka sendiri dan untuk membebaskan diri dari kedua kendala praktis dan perasaan psikologis dan emosional sebagai korban.”
  • Di Indonesia, Rehabilitasi secara populer diartikan sebagai memulihkan nama baik atau reputasi korban.

Pendekatan berbasis masyarakat

Setelah beberapa tahun melakukan penelitian dan pendampingan bersama kawan-kawan gerakan perempuan, IKOHI, dan kawan-kawan yang mendorong hak-hak kebebasan beragama,  semakin jelas bahwa salah satu cara impunitas dipelihara dan dipertahankan adalah dengan menyangkal korban hak untuk rehabilitasi. Kita tahu bahwa banyak korban pelanggaran HAM berat menghabiskan semua sumber daya dan waktu hanya mencoba untuk bertahan hidup. Ada hanya sedikit ruang untuk bahkan mulai bermimpi tentang reparasi. Dalam beberapa konteks, diskriminasi yang mereka alami begitu tertanam bahwa telah diserap ke dalam interaksi sehari-hari mereka, diharapkan, diterima dan diciptakan kembali. Kami menemukan bahwa sebagian besar “sempurna” bentuk impunitas adalah ketika korban dibungkam dan diam.

Inisiatif berbasis masyarakat untuk rehabilitasi dapat menjadi dasar untuk memutus siklus impunitas. Dalam banyak situasi pasca-konflik, rehabilitasi korban dan komunitasnya dapat meningkatkan pembangunan dan memperkuat rule of law. Namun, pemerintah tidak memberi sumber-daya sama sekali, kecuali di Aceh dimana korban konflik dan korban tsunami berlomba-lomba mendapatkan bantuan (dengan berbagai persoalan lainnya). Di kebanyakan tempat di Indonesia, korban menjadi tidak terlihat, tidak bisa dibedakan dari kelompok-kelompok miskin dan rentan lainnya.

Namun, kita, IKOHI, para korban dan kelompok masyarakat sipil telah terus bekerja untuk perubahan. Kawan-kawan berada di garis depan memecah keheningan, dan menemukan cara untuk mendukung korban di tingkat masyarakat dalam menghadapi berlangsung impunitas.

Yang lebih “diterima” bentuk reparasi? Sebuah titik awal dan tujuan

Rehabilitasi dan pelayanan memiliki keuntungan strategis karena aplikasi umum dalam sejumlah bidang, termasuk kemanusiaan, pembangunan dan keadilan transisional. Fleksibilitas ini memungkinkan kesempatan untuk membantu para korban pelanggaran hak asasi manusia bahkan ketika para pemimpin nasional belum dihangatkan dengan gagasan untuk menyediakan reparasi. Dalam konteks di mana impunitas didukung oleh negara, memperjelas kewajiban hukum dari negara untuk memberikan rehabilitasi kepada korban mungkin memiliki dampak kecil. Cara-cara baru harus dirancang untuk mengintegrasikan pendekatan keadilan transisi ke dalam upaya kemanusiaan pasca-konflik dan dalam pendekatan pembangunan.

Salah satu tujuan utama dari keadilan transisional adalah untuk mengubah masyarakat yang didasarkan pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia setelah puluhan pelecehan besar-besaran. Pendukung keadilan transisional percaya bahwa memahami masa lalu memberikan fondasi untuk membangun masa depan yang lebih baik. Ada tumbuh kesadaran bahwa upaya untuk menyembuhkan korban, masyarakat, hubungan sosial dan politik membutuhkan waktu, sumber daya dan pendekatan multi-disiplin.

Beberapa bulan yang lalu, sekelompok perempuan dari Myanmar / Burma, yang bekerja dengan korban dan mengelola rumah aman di kamp-kamp pengungsi, berkumpul untuk berbicara tentang membangun sebuah gerakan korban untuk keadilan dan perdamaian. Saya mendapat kehormatan untuk bergabung dengan mereka dalam proses ini. Mereka membuat beberapa gambar dari apa yang mereka bayangkan dalam 10 tahun. Deskripsi mereka termasuk:

  • Pemulihan dari trauma dan penderitaan mereka
  • Korban dapat mengakses pengadilan dan membawa kasus mereka
  • Tidak ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap korban dan keluarga mereka
  • Rumah aman yang didukung oleh masyarakat, dengan pusat-pusat pembelajaran dan pelatihan bagi korban

Rehabilitasi dan pelayanan seharusnya tidak menjadi pengganti untuk pemenuhan hak korban atas keadilan, kebenaran dan reparasi. Tapi rehabilitasi dan pelayanan dapat meletakkan dasar untuk mengejar tujuan jangka panjang tersebut. Ketika saya membayangkan sebuah masyarakat baru yang telah berhadapan dengan dampak dan akar penyebab pelanggaran HAM, maka yang terbayang seperti gambar mereka yang menarik sekaligus sederhana.

Peluang di Era Jokowi?

 

Saya pikir ada berbagai kawan dalam pertemuan ini yang lebih dekat dan lebih sigap membaca peluang-peluang yang ada. Ada beberapa arus yang bisa kita pikirkan:

  • Semangat Jokowi untuk memberi pelayanan pada masyarakat rentan adalah sebuah peluang penting. Kita perlu sigap mengambil kesempatan dengan berbagai pelayanan BPJS, Kartu Sehat, Kartu Pintar, pada saat yang sama kita harus mengadvokasi bahwa pelayanan ini bisa dihadirkan kepada korban secara khusus (gratis, dengan kemudahan untuk para korban, bahkan difasilitasi aksesnya.) Berbagai lembaga negara harus ikut bertanggung-jawab dan memikirkan bagaimana korban bisa diintegrasikan dalam pelayanan dan pembangunan.
  • Inisiatif LPSK untuk mendorong pembentukan Dana Abadi untuk Korban perlu kita dampingi dan kritisi. Pastikan bahwa mekanisme yang dibangun berpihak pada korban, artinya beban pembuktian tidak menjadi beban yang ditumpahkan pada bahu korban. Ada berbagai contoh di dunia dimana kemudahan bagi korban diprioritaskan.
  • Desentralisasi upaya! Penting untuk kita memanfaatkan dan mendorong tanggung-jawab pemerintah daerah. Carilah siapa yang bisa menjadi kawan kita dalam upaya ini ditempat kita masing-masing. Contoh dari Palu memperlihatkan bahwa pada saat kita punya teman yang baikpun perjuangan masih panjang.
  • Tindak-lanjut dari momentum laporan bersama KKPK, mendorong tuntutan yang ada dalam rekomendasinya. Disini termasuk rekomenpdasi untuk pengakuan, penguatan korban, dan pengadilan terhadap pelaku. Namun, ada saat yang sama Jokowi juga dikelilingi oleh orang-orang lama dengan kepentingan lama, sehingga kita harus mengelola ekspektasi.

Pada akhirnya perjalanan IKOHI dan para anggotanya adalah testimoni dari kekuatan dan kecerdasan korban bergulat dengan situasi, serta bertahan dan bertahan. Kekuatan inilah yang menjadi modal kita bersama untuk perjalanan yang masih panjang kedepan.

1 Prinsip Dasar dan Pedoman, supra, n. 8, Prinsip IX.19, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, 20 Desember 2006, Doc.A/61/488, Pasal 24, Komite Anti Penyiksaan, General Comment No.3 (20012), 13 Desember 2012 , para. 2.

2 Bagian ini adalah kutipan dari Redress, “Rehabilitasi sebagai Bentuk Reparasi Berdasarkan Hukum Internasional,” Desember 2009

3 Coosmaraswamy, R., Laporan tentang misi ke Republik Demokratik Rakyat Korea, Republik Korea dan Jepang pada isu perbudakan seksual militer di masa perang, E/CN.4/1996/53/Add.1, 4 Januari 1996, alinea. 92.

4 Inter-American Court of Human Rights, Loayza Tamayo v Peru, Penghakiman atas Reparasi dan Biaya, 27 November 1998, paras. 148-150.

Add a Comment

Your email address will not be published.