Jalan Indonesia Tidak Tunggal

JALAN INDONESIA TIDAK TUNGGAL

Kamala Chandrakirana

(Pidato pembukaan seminar KKPK pada tanggal 21 Agustus 2015)

Hari ini kita merayakan dirgahayu ke-70 Republik Indonesia dengan memperingati 50 tahun terjadinya Tragedi Kemanusiaan 1965.Sekitar 100 orang anggota dan jaringan KKPK, dari 17 kota/kabupaten dari Aceh hingga Papua, telah berkumpul di sini sejak dua hari yang lalu untuk merefleksikan gerakan nasional kami dan menyepakati arah perjuangan ke depan.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya, atas nama anggota-anggota KKPK, menyampaikan gagasan sederhana kami yang muncul dari pengalaman jatuh-bangun selama bertahun-tahun dalam mendorong pertanggungjawaban negara dan mendukung pemulihan korban.

Tujuhpuluh tahun yang lalu, bangsa Indonesia menegakkan haknya atas kemerdekaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Pada Pembukaan UUD Negara RI 1945 tercantum nilai-nilai universal yang telah memberi keyakinan pada para pendiri bangsa untuk menyatakan Indonesia sebagai bagian yang berdaulat dari komunitas dunia. Negara-bangsa Indonesia tidak hanya dibayangkan sebagai anggota pasif dalam pergaulan antar bangsa-bangsa, tetapi berperan aktif untuk “melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Sementara itu, catatan-catatan sejarah oleh saksi dan peneliti tentang peristiwa 1965-66 menceritakan tentang pembunuhan dalam skala masif, pemenjaraan ribuan orang tanpa proses pengadilan, serta penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dalam berbagai bentuknya. Tindakan-tindakan ini secara tegas dilarang dalam Konstitusi RI dan mengingkari integritas Indonesia sebagai negara hukum. Menurut hukum HAM internasional, tindakan-tindakan tersebut masuk dalam kategori ‘pelanggaran berat’ dan bisa ditetapkan secara hukum sebagai ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Peristiwa 1965-66, yang rampung pada tahun 2012, belum ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Kejaksaan Agung RI hingga kini.

Tanpa ada penyikapan yang tegas dari Negara dalam kerangka pertanggungjawaban atas terjadinya pelanggaran-pelanggaran berat HAM dalam peristiwa 1965-66, para korban dari peristiwa ini terus dihantui oleh stigma dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” yang merupakan nilai dasar kebangsaan Indonesia telah luput dari gapaian mereka selama 50 tahun, kendati kemerdekaan RI sudah berusia 70 tahun.

Tidak adanya sanksi hukum terhadap pelaku-pelaku pelanggaran berat HAM 50 tahun yang lalu telah membuka pintu sebesar-besarnya bagi munculnya siklus impunitas atas pelanggaran-pelanggaran selanjutnya dalam sistem kekuasaan rejim Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun. Prinsip “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” yang berlaku sama bagi semua orang, dan yang merupakan esensi dari niat kemerdekaan RI, hingga kini, belum juga terpenuhi bagi para korban kasus-kasus pelanggaran berat HAM lainnya yang terjadi dalam berbagai konteks di seluruh penjuru Nusantara.

Hari ini, kita mempunyai momentum politik baru sebagaimana dinyatakan oleh Presiden RI pada pidato kenegaraannya pada tanggal 14 Agustus 2015 yang lalu:

Saat ini Pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Anak-anak bangsa harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas. Semua itu merupakan langkah awal pemerintah untuk menegakkan kemanusiaan di bumi Nusantara.

Bapak, Ibu, Saudara2, KKPK percaya bahwa tidak ada jalan tunggal untuk mencapai penyelesaian yang sungguh-sungguh menyeluruh dan efektif atas sekian banyak kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di tanah air Indonesia.

KKPK telah mencatat 1300 kasus kekerasan yang terjadi sejak tahun 1965 hingga 2005, yang mengakibatkan 3150 perempuan dan laki-laki menjadi korbannya. Pada tahun 2013, yang kami canangkan sebagai ‘Tahun Kebenaran’, KKPK mengumpulkan dan mengkaji catatan-catatan inidan melengkapinya dengan sebuah proses pengungkapan kebenaran buatan masyarakat sipil yang kemudian dibukukan sebagai Laporan Tahun Kebenaran yang kami beri judul: “Menemukan Kembali Indonesia: Memahami 40 Tahun Kekerasan Demi Memutus Rantai Impunitas”. Pada laporan ini, kami memaparkan sejumlah rekomendasi konkrit untuk memutus rantai impunitas di Indonesia.

Sekali lagi, jalan Indonesia untuk penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu tidak tunggal. Pernyataan Presiden RI pada tanggal 9 Desember 2014 di Yogyakarta yang menegaskan komitmen pemerintah atas langkah judisial dan non-judisial telah berkembang sedemikian rupa seakan kita harus memilih satu diantara kedua langkah ini: judisial atau non-judisial. Ini perkembangan yang sungguh keliru.

Nanti, sejarah akan mencatat apa yang secara nyata dimaksud dengan ‘Jalan Indonesia’ dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran-pelanggaran berat HAM masa lalu.

Untuk saat ini, KKPK percaya bahwa beragam pihak yang peduli dengan agenda ini membutuhkan sebuah kerangka kerja bersama yang dapat dijadikan panduan bagi segala upaya menuju penyelesaian yang sungguh-sungguh menyeluruh dan efektif. Menurut kami, kerangka dasar ini mengandung enam pilar yang sejalan dengan nilai ‘peri-kemanusiaan dan peri-keadilan’ yang diamanatkan oleh Konstitusi RIdan seyogyanya berjalan secara serentak dan saling mendukung guna menjaga koherensi dan konsistensi dari segala upaya yang dijalankan, oleh negara maupun masyarakat, atas nama penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Tanpa sebuah kerangka bersama, maka upaya-upaya tersebut dapat berlangsung secara tercerai-berai tanpa kesinambungan, dan justru berisiko menjauhkan bangsa dari penyelesaian yang bersifat tuntas dan memenuhi harapan.

Kami yakin bahwa, sebagai satu kesatuan, keenam pilar ini merupakan amanat konstitusi dan, jika terlaksana, mempunyai daya transformatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Nusantara.

Pilar-pilar ini kami sebut sebagai ‘Satya Pilar’, yang berarti enam pilar yang berpijak pada kebenaran. Keenam pilar initerdiri dari:

  1. Penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum
  2. Pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap kebenaran tersebut
  3. Pemulihan martabat dan penghidupan korban
  4. Pendidikan dan dialog publik menuju rekonsiliasi
  5. Pencegahan keberulangan melalui perubahan kebijakan dan pembaruan kelembagaan
  6. Partisipasi aktif korban dan penyintas

Konsekuensi dari Satya Pilar ini adalah bahwa, untuk dapat mencapai penyelesaian yang menyeluruh dan efektif atas pelanggaran HAM masa lalu, dibutuhkan sekaligus langkah hukum, kebijakan sosial, prakarsa budaya serta, tak kalah penting, tekad politik yang dinyatakan secara publik dan tertulis.

Negara merupakan pengemban kewajiban hukum untuk menyelenggarakan langkah-langkah penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu. Tetapi, semua ini tidak bisa dilakukan oleh Negara secara terisolasi dari upaya-upaya masyarakat, apalagi mengingat bahwa energi terbesar untuk mencapai penyelesaian yang menyeluruh dan efektif hidup dalam komunitas masyarakat sipil. Langkah lembaga-lembaga tinggi negara yang ditunggu-tunggu untuk menuntaskan pertanggungjawaban atas pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut bahkan akan semakin dikuatkan dengan adanya inisiatif-inisiatif lokal yang menunjukkan kebulatan tekad dan kesiapan bangsa untuk melangkah maju.

Negara wajib secara aktif dan nyata menciptakan situasi yang kondusif bagi segenap ragam pihak yang peduli, di jajaran pemerintahan maupun masyarakat, untuk ikut mengantarkan bangsa pada masa depan yang terbebas dari jeratan pelanggaran berat HAM.

Dalam ‘Jalan Indonesia’ yang terdiri dari Satya Pilar ini, pintu masuk yang tepat bagi para aktor yang peduli akan berbeda-beda, sesuai kewenangan dan kapasitasnya. Sinergitas bersama semestinya menjadi tanggung jawab bersama semua pihak yang terlibat.

Bapak, Ibu dan Saudara-saudara yang saya hormati,

Jalan Indonesia menuju penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu sudah mulai dibangun secara perlahan tapi pasti sejak era reformasi dimulai dan bahkan sebelumnya dalam bayang-bayang rejim Orde Baru.

Jalan rintisan yang tersedia saat ini dibangun melalui jejak langkah yang kecil-kecil, tidak selalu berkesinambungan dan penuh jatuh-bangun karena dilakukan tanpa dukungan yang pasti dan berkelanjutan dari Negara. Tidak heranlah jika jalan rintisan ini – yang digunakan oleh banyak pihak yang peduli dengan sejarah kekerasan di Indonesia – masih rentan sifatnya dan penuh rintangan. Kendati demikian, kerja panjang yang dilakukan oleh para korban dan penyintas, pendamping dan pegiat HAM, serta lembaga-lembaga HAM nasional telah membuahkan sejumlah hasil yang menjadi pijakan dasar bagi perjalanan selanjutnya. Pijakan-pijakan dasar ini tersedia di jalur pengadilan; dalam upaya memecah kebisuan; pemberian bantuan psiko-sosial dan akses pada layanan publik bagi korban; memorialisasi demi pembelajaran tentang masa lalu; dan, rekonsiliasi akar rumput.

Untuk dapat memenuhi potensinya secara optimal, Jalan Indonesia harus terbuka bagi semua aktor yang peduli pada penyelesaian yang menyeluruh dan efektif, termasuk penegak hukum dan aparat pemerintah nasional maupun daerah; para korban/penyintas, saksi maupun pelaku dan keluarga mereka; pekerja kemanusiaan dan pegiat HAM; tokoh-tokoh masyarakat dan pemikir keagamaan; guru, akademisi dan intelektual publik; kalangan profesi, pakar dan pemberi layanan di berbagai bidang; anak muda serta pekerja budaya dan seni.

Demikianlah, Bapak, Ibu dan Saudara sekalian gagasan sederhana dari pengalaman anggota-anggota KKPK berjuang di akar rumput dan di panggung nasional. Gagasan ini telah kami catatkan dalam dokumen yang berjudul: “Jalan Indonesia Menuju Penyelesaian atas Pelanggaran HAM Masa Lalu demi Masa Depan Bangsa: Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama berlandaskan Konstitusi”.

Kami paham bahwa Konstitusi RI mengandung kompromi-kompromi politik tentang HAM. Kendati demikian, ia tetap menjadi sumber rujukan yang menegaskan sistem nilai kebangsaan kita. Perjuangan kami ke depan berpijak pada konstitusi karena inilah landasan hukum bagi negara kita dan sekaligus kontrak sosial antar warga bangsa Indonesia.

Besar harapan kami bahwa, melalui diskusi publik ini, para pakar konstitusi kita yang terhormat dapat memperkaya dan memajukan kerangka berpikir dan bertindak kita sebagai bangsa Indonesia dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu demi membangun masa depan bangsa yang lebih baik.

Terima kasih dan selamat berdiskusi.

Kamala Chandrakirana

Add a Comment

Your email address will not be published.