VIDEO | Dialita

Lima puluh dua tahun setelah kejadian, mereka berkumpul lagi di Ciracas. Bu Uchi menyambut saya di gerbang dengan pelukan erat, dan mempersilakan kami masuk. Di dalam rumah, bu Mudjiati dan kawan-kawannya tengah sibuk bersenda gurau ditemani gorengan dan jajanan pasar. Mereka sudah lama tidak latihan, jelasnya. Rupanya, lama tidak kumpul bikin mereka rindu satu sama lain.

Ia dan Ibu-Ibu lain yang tergabung dalam Paduan Suara Dialita berkerubung di sekitar piano sejak siang, dipandu pak Martin Lapanguli yang berperan sebagai dirigen. Sebentar saja, aransemen lagu yang baru dibagikan pak Martin bisa mereka nyanyikan dengan tangkas. Lelaki tua itu berulang kali mengakhiri lagu dengan senyum bangga dan tepuk tangan.

Mereka bukan paduan suara biasa. Para Ibu-Ibu yang tergabung dalam Paduan Suara Dialita dipersatukan oleh kenangan pahit dari separuh abad lalu. Mereka menyanyikan ulang lagu-lagu yang dilantunkan para tahanan di balik jeruji besi, dan merekam masa paling suram dalam sejarah bangsa Indonesia.

“Kita hanya dengar berita dari radio,” kisah bu Mudjiati. “Begitu kejadian di 1 Oktober dini hari, kita hanya dengar bolak-balik ada telegram: telah terjadi penculikan para Jenderal yang dilakukan oleh Dewan Revolusi. Angkatan Laut tidak tahu, Angkatan Udara tidak tahu, Kepolisian tidak tahu. Yang memberitakan hanya Angkatan Darat.”

Bu Elly, bu Tuni, bu Nasti, dan hampir selusin anggota Dialita lainnya yang hadir sore itu mengangguk setuju. Satu per satu, mereka mulai bercerita. Tentang malam dini hari 1 Oktober 1965, dan tahun-tahun sesudahnya. Tentang keluarga yang hilang, tentang ulang tahun terakhir dengan Bapak, tentang mengintip manuskrip Pramoedya di pulau Buru. Banyak kisah ini mereka pendam selama lebih dari tiga dekade, dan baru bisa dibuka saat mereka renta.